Senin, 01 Juni 2009

MONUMEN JALESVEVA JAYAMAHE




Lokasi

Tanjung Perak

Info

Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) merupakan suatu bukti hasil karya besar dan sangat mengagumkan karya anak bangsa. Suatu pewarisan nilai sejarah yang tinggi, sebagai cerminan kebesaran bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Makna lain dari sosok patung ini adalah sebagai simbol kesiapan menerima tongkat estapet pengabdian dari generasi ke generasi berikutnya.
Monumen ini berbentuk patung setinggi 30,6 meter yang ditopang oleh Gedung setinggi 30 meter. Patung ini menggambarkan seorang Perwira TNI Angkatan Laut lengkap dengan pedang kehormatannya berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak dan menempuh badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.
Monumen yang dibangun atas inisiatif Kepala Staf TNI Angkatan Laut pada waktu itu, Laksamana TNI Muhamad Arifin dan dirancang oleh Nyoman Nuarta tersebut dapat berfungsi pula sebagai menara Lampu Pemandu (Mercu Suar) bagi kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya. Persis dibawah monumen terdapat gong raksasa Kyai Tentrem, bergaris tengah 6 meter dan berat lebih dari 2 ton.
Monumen Jalesveva Jayamahe diambil dari semboyan TNI AL yang berarti “di laut kita jaya” tingginya 60 meter. Bangunan itu terdiri dari gedung beton bundar empat lantai 30 meter yang dijadikan tumpuan patung tembaga setinggi 30 meter. Pada bagian dinding gedung ini dibuat diorama sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang bahari (TNI AL) sejak jaman prarevolusi phisik sampai tahun 90-an.
Sedangkan gedung penopangnya berfungsi sebagai Museum TNI AL dan sekaligus juga sebagai Eksekutif Meeting Room. Patung itu menggambarkan seorang Kolonel TNI Angkatan Laut dengan pakaian dinas upacara (PDU 1). Tangan kanannya berkacak pinggang dan tangan kirinya memegang pedang komando. Mata sang kolonel menatap ke laut luas. Pada lantai dasar bangunan bundar itu gong Kyai Tentrem dipajang.
Menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Madya Arief Kushariadi, perwira yang dipatungkan sengaja diberi pangkat Kolonel. “Karena kolonel merupakan jenjang seorang perwira memasuki tahap matang dan siap memasuki jabatan teras,” katanya. Mengapa memandang ke laut ? ” Karena masa depan kita ada di lautan,” katanya lagi. Pihak Angkatan Laut, kata Arief, berharap pula agar monumen ini akan menjadi andalan wisata pantai di Surabaya.
Monumen ini dibangun sejak 1990 dan diresmikan pada bulan Desember 1996 yaitu bertepatan dengan hari Armada RI tanggal 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto, dengan biaya Rp 27 milyar. Patung itu disebut-sebut tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty, 85 meter, yang berada di mulut pelabuhan New York. Sang kolonel itu berangka baja dan berkulit tembaga. Perancangnya, Nyoman Nuarta, pematung kondang dari Bandung yang juga menggarap patung tembaga Garuda Wishnu Kencana di Jimbaran, Bali. Oleh Nyoman tubuh patung itu dicetak di bengkelnya di Bandung dalam bentuk potongan-potongan modul. Setelah komplet, baru kemudian dibawa ke Surabaya dan disambung-sambung. Untuk membuat patung itu, Nyoman Nuarta mendapat pasokan 3.000 ton tembaga dari PLN, 60 ton dari Telkom, dan sejumlah tembaga bekas selongsong peluru.
Latar belakang dibangunnya Monjaya adalah adanya gagasan, bahwa bagaimanapun majunya suatu Bangsa hendaknya harus tetap berpijak pada sejarah. Artinya, Bangsa yang besar adalah Bangsa yang bisa menghargai jasa Pahlawannya. Dari sekian banyak Pahlawan dan sesepuh yang telah berjasa dalam merintis, menegakkan dan mengisi kemerdekaan bangsa dan NKRI, termasuk didalamnya para pahlawan dari TNI Angkatan Laut. Tak terbilang pengorbanan yang telah mereka sumbangkan. Bahkan jiwapun mereka berikan. Hanya sebagian kecil dari mereka yang kita kenal dan namanya telah diabadikan menjadi nama-nama Kapal Perang Republik Indonesia.
Selain sebagai tanda penghargaan dan kenang-kenangan dari generasi penerus yang masih hidup, juga diharapkan dapat memberi dorongan untuk meneruskan perjuangan mereka menuju tercapainya cita-cita Angkatan Laut yang Besar, Kuat dan Profesional dalam wadah NKRI yang adil dan makmur.
Tanpa mengecilkan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Sibolga, Tegal, Pasuruan, Bali atau dimanapun di tanah air Indonesia ini sejarah Ujung sebagai bagian wilayah kota Pahlawan Surabaya memang tak bisa dipisahkan dari sejarah TNI AL, yaitu terjadinya peristiwa perebutan Kaigun SE 21/24 Butai pada 3 Oktober 1945, yang ditandai dengan sumpah oleh para Bahariawan Penataran Angkatan Laut (PAL) yaitu Saya rela dan ikhlas mengorbankan harta benda maupun Jiwa raga untuk Nusa dan Bangsa.
Dalam pagelaran peristiwa sejarah TNI AL berikutnya, Ujung berperan sangat penting, yaitu merupakan pangkalan (Home Base) kapal-kapal perang TNI AL terbesar sampai sekarang, sehingga tidaklah terlalu mengada-ada bila sebagian masyarakat menamakan kota Surabaya sebagai kota pelaut atau kota Angkatan Laut.
Karena itu layaklah bilamana Monumen Jalesveva Jayamahe dibangun di Ujung Surabaya. Selain itu, diharapkan pula pendirian monumen ini dapat menambah semaraknya Ujung Surabaya yang berarti ikut menambah indahnya Surabaya sebagai kota Pahlawan dan Indarmadi (lndustri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan).

1 komentar: